Sabtu, 16 April 2011

Ontologi DPR RI

Sebuah pemikiran Filsafati yang melihat dunia haruslah nyata dengan beberapa prinsip realis, empiris, dan naturalis memang memaksa kita untuk bergerak pada tataran konkret dan nyata. Semenjak lahirnya Komite Nasional Pusat (KNIP) pada tahun 1945. KNIP yang akhirnya menjadi cikal bakal lembaga Legislatif di Indonesia memang sudah sangat sering mengalami konflik politik sejak tahun 1949.

Pemilihan Umum (PEMILU) yang terus berlangsung sampai dengan tahun 2009 memberikan sebuah cerminan politik sosial bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memang tidak memiliki kapasitas dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Sebagai lembaga politik yang dipercaya masyarakat seharusnya mampu dan siap untuk melakukan sebuah advokasi masalah kepada masyarakat Indonesia.

Apabila anggota DPR RI tidak berkapasitas untuk melakukan tugas tersebut, lantas kemana legitimasi mereka sebagai wakil rakyat apabila ternyata Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) justru lebih aspiratif dibanding lembaga aspirasinya sendiri. Ini diibaratkan seperti keran rusak yang menghambat laju aspirasi masyarakat kepada pemerintah.

Selain itu melihat kenyataan yang ada bahwa jumlah anggota DPR RI yang begitu besar, belum ditambah jumlah anggota DPD RI di nasional dan daerah menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat membayar mereka dengan jumlah besar untuk bekerja mewakili aspirasi mereka selama setiap 5 tahunan belum juga menuai hasil maksimal. Akan tetapi justru yang disibukan oleh anggota dewan adalah masalah-masalah kecil yang tidak substantif untuk diperbincangkan. Dalam makna Karl Marx ketika berbicara masalah konsep Suprastruktur dan Infrastruktur, maka yang terlintas dalam pikiran saya seharusnya anggota DPR RI lebih cerdas dalam memilih strategi berpolitik mereka. Suprastruktur adalah poin prioritas yang seharusnya mereka jadikan pilihan, bukan infrastruktur. Karena masyarakat lebih menghargai anggota dewan yang mampu menyelesaikan permasalahan mereka dengan kehidupan bersahaja, dibanding anggota dewan yang memiliki segudang kemewahan privat dan publik, tapi tidak selesai mengurus rakyat. Kesalahpahaman yang muncul di kalangan anggota dewan ini yang perlu kita luruskan bersama.

Oleh karena itu langkah yang harus diambil oleh gerakan mahasiswa dalam perkara pembangunan gedung DPR RI ini adalah sebagai berikut, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pada tahun 2010, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 31023.4.Berdasarkan angka tersebut, maka jelas bahwa tidak sepatutnya seorang wakil rakyat menyibukkan diri dengan melakukan open tender kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yakni gedung DPR RI yang mewah dengan menghabiskan dana Triliunan rupiah. Fenomena Borjuis sosial ini tentunya akan menggeser paradigma pemimpin adalah pelayan rakyat. Dengan adanya sebuah aktivitas immoral dari anggota dewan yang terus merongrong meminta untuk terpenuhinya kebutuhan personal dari APBN maka tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan rakyat kecil tidak akan pernah terpenuhi sampai kapan pun juga

sumber : http://kampus.okezone.com/read/2011/04/14/95/445925/ontologi-dpr-ri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar