Sabtu, 16 April 2011

Masihkah Ada Pesona Buku di Perpustakaan?

BUKU adalah jendela dunia. Pepatah itu yang sering dibaca siswa ketika memasuki perpustakaan sekolah. Dengan semangat ingin tahu atau entah dengan motif apapun mereka pergi ke perpustakaan untuk memilih referensi dan bahan bacaan yang dikehendaki.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kehidupan yang global semakin memudahkan transfer informasi dari sumber mana pun. Sumber online menjadi lebih populer karena mampu memberikan hasil secara langsung segala bentuk informasi yang dibutuhkan pengakses internet. Internet tidak hanya menjelma sebagai jendela, tetapi sudah menjadi gerbang bagi manusia untuk membaca dunia. Dikenallah dunia maya atau cyber space melalui berbagai jejaring sosial seperti yahoo messenger, friendster, blogspot, wordpress, twitter, hingga facebook. Tanpa disadari, minat baca konvensional masyarakat semakin berkurang dan eksistensi buku di perpustakaan mengalami degradasi bagi para pembacanya.

Seperti yang dikutip dari harian Kompas, 26 Maret 2011, Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol tingkat peradaban bangsa. Namun, nasib Pusat Dokumentasi Sastra HB Jasin di kompleks Taman Ismail Marzuki sungguh mengenaskan." Pusat-pusat dokumentasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh penting di negeri ini ternyata bernasib sami mawon. Kenyataan ini membuat gemas sejumlah pecinta sastra yang menelurkan gerakan penggalangan simpati, termasuk melalui media sosial. Kenyataan itu juga membuat kita bertanya, masih adakah pesona keasyikan membaca di perpustakaan bagi anak-anak sekolah?

Pertanyaan dari kutipan berita tersebut menyiratkan bahwa minat baca konvensional dengan pergi ke perpustakaan sudah tidak lagi favorit bagi anak-anak sekolah. Warnet (warung internet) yang pertumbuhannya semakin meningkat dan didukung oleh lokasinya yang selalu berdekatan dengan institusi pendidikan, membuat para pelajar lebih mudah menjangkaunya. Selain lebih menyenangkan, warnet memberi peluang atau kesempatan lebih besar untuk mengetahui wawasan dunia dibandingkan perpustakaan.

Sayangnya tidak semua situs yang ada di internet layak untuk dijelajahi, khususnya bagi pelajar. Situs-situs yang mengandung unsur pornografi atau yang membuat ketagihan, seperti game online, sulit dihindari sehingga mampu mematikan fungsi syaraf otak untuk berpikir. Hal seperti ini mampu menghambat proses penggalian wawasan dan merusak moral bangsa sedikit demi sedikit. Apalagi tidak ada kontrol khusus untuk pelanggan warnet dari pemilik warnet atau yang biasa disebut server. Oleh karena itu, pengguna internet yang dalam hal ini disebut user, harus memiliki kebijaksanaan sendiri dalam menggunakan fasilitas internet dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Melihat posisi strategis warnet yang mampu menggeser eksistensi perpustakaan, maka perlu adanya suatu upaya agar perpustakaan kembali diminati oleh para pelajar.

Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali budaya membaca buku dan sastra. Saat ini, konsep free wifi zone dan mini cafe yang diterapkan perpustakaan di perguruan tinggi sudah mulai populer. Selain memang atas dasar kebutuhan mahasiswa, dekorasi ruang baca yang nyaman dilengkapi dengan free wifi zone dan mini cafe merupakan pesona tersendiri bagi perpustakaan, seperti kata pepatah, ”Ada gula, ada semut.”

Apabila konsep ini diturunkan di lingkup sekolah baik tingkat SD, SMP, maupun SMA, usaha peningkatan gemar membaca buku dapat dipastikan berhasil. Ini adalah metode pertama. Namun untuk menghindari eksklusivitas individu masing-masing, wifi bisa diganti dengan sejumlah seperangkat komputer yang terkoneksi dengan internet. Tujuannya agar siswa yang datang ke perpustakaan dengan tujuan ingin online mau mengantre dengan siswa yang lebih dulu datang. Dari aktivitas mengantre tersebut, siswa akan merasa jenuh dan biasanya mencari hal lain yaitu buku-buku bacaan yang ada di sekelilingnya untuk mengatasi rasa bosannya itu.

Metode kedua, pihak sekolah mengadakan kerja sama dengan warnet terdekat untuk menyediakan rak atau tempat strategis lain seperti dinding misalnya, yang memungkinkan diadakannya perpustakaan kecil. Sekolah menyuplai buku-buku sastra, majalah, dan koran agar dapat menarik perhatian pengunjung warnet. Setidaknya, pengunjung warnet yang sebagian besar adalah pelajar daerah sekitar tertarik untuk membaca dan melihat-lihat isi dari buku yang ada meskipun hanya sekilas. Dengan begini, selain warnetnya diuntungkan karena pengunjung maupun pelanggan yang datang bertambah, peran sekolah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga tetap berjalan.

Dalam berperilaku sehari-hari, Muk Kuang dalam bukunya Think and Act like a Winner berkata, ”First we form habits, then they form us. Conquer your bad habits, or they will eventually conquer you.” Peran penting sekolah tidak hanya pada pendidikan intelektual tapi juga karakter. Sekolah yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab penuh dalam pengembangan kapasitas siswa, harus mampu mengetahui segala yang dibutuhkan peserta didik. Tidak hanya sekedar memfasilitasi, tetapi juga harus memperhatikan kondisi kekinian yang menjadi kebiasaan subyek yang menggunakannya agar dapat mempertahankan efektivitas dan eksistensi fasilitas yang ada.

Sekali lagi, ”Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol tingkat peradaban bangsa.” Oleh karena itu, diharapkan segenap masyarakat Indonesia khususnya para pelajar mulai mencintai buku maupun sastra agar dapat memahami tingkat perkembangan peradaban bangsanya sendiri.

sumber : http://kampus.okezone.com/read/2011/04/04/95/442165/masihkah-ada-pesona-buku-di-perpustakaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar